Berita Ragam

Kisah Amar Alfikar, Anak Kiai yang Memutuskan Jadi Transgender

3 menit

Seorang anak kiai asal Kendal, Jawa Tengah memutuskan untuk menjadi seorang transgender. Hal itu ia ceritakan melalui akun Twitter-nya. Seperti apa perjalanan hidupnya tersebut? Simak di sini!

Amar Alfikar adalah seorang transgender yang terlahir dengan nama Ning Amalia.

Ia terlahir tanda biologis perempuan pada 29 tahun lalu.

Amar dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Kedua orang tuanya mengelola pondok pesantren di Kendal, Jawa Tengah.

Sejak kecil, dia sering kesulitan menempatkan ekspresi gender dan kondisi biologisnya sebagai perempuan dan sering memakai pakaian laki-laki.

Amar Alfikar, Anak Kiai yang Memilih Jadi Transgender

Merasa Sangat Tertekan Saat Sekolah

Saat duduk di bangku sekolah dasar, Amar sering tidur di kamar santri putra di pondok pesantren milik orang tuanya.

Seiring bertambahnya usia, dia semakin kesulitan menempatkan dirinya. Lingkungan melihatnya sebagai perempuan menjelang dewasa.

Dia tak lagi bebas memakai baju yang dia sukai. Mental Amar semakin tertekan ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama.

Kala itu Amar merasa stres dan sering menyakiti dirinya sendiri.

“Saya enggak memahami apa yang saya rasa. Waktu saya disuruh tidur di kamar santri putri dan memakai jilbab, saya sering memecahkan kaca. Selain itu, melukai tangan dengan silet, pokoknya destruktif sekali karena tertekan,” jelasnya.

Memberanikan Diri Bertemu Psikolog

anak kiai

sumber: instagram.com/amaralfikar

Di tanah suci, tahun 2012, Amar mencurahkan keresahannya, memanjatkan doa, dan meminta agar Tuhan memberi petunjuk mengenai identitas dirinya.

Saat kembali, Amar memberanikan diri mencari psikolog. Keterbatasan psikolog di kotanya membuat Amar memutuskan pergi ke Semarang hingga Yogyakarta.

Menemukan psikolog tak semudah membalik telapak tangan bagi sosok seperti Amar.

Butuh dua tahun untuk mencari bantuan yang memberikan bimbingan bagi pertanyaannya.

Sejumlah psikolog justru membuatnya semakin tersesat. Hingga di 2016 dia menemukan bantuan atas masalahnya.

“Sejak 2014 tiga kali bertemu psikolog, dari Kendal ke Semarang dan Jogjakarta. Sayangnya mereka transphobic dan justru menceramahi saya. Pada 2016 di Yogyakarta, Alhamdulillah akhirnya bertemu psikolog yang bisa mengidentifikasi masalah saya,” tuturnya.

Amar pun menjalani observasi selama enam bulan. Hasilnya, dia didiagnosis mengidap dysphoria gender, kondisi di mana identitas gender tidak sesuai dengan genitalia.

Mendapat Dukungan Keluarga

Amar merasa lega, pertanyaannya selama ini terjawab sudah, ia kemudian menjelaskan keadaannya kepada kedua orang tua.

Amar bersyukur karena Ayah dan Ibunya menghargai pilihan Amar.

Meski sebelumnya terjadi perdebatan yang tak berujung, baik Amar dan orang tuanya memilih bertemu di titik tengah.

“Saya bersyukur karena mereka masih menganggap saya sebagai anak dan memerhatikan hak-hak saya. Saya tidak diusir, ibu saya juga lega karena saya sudah mau cerita,” ujarnya.



Tentu bukan hal mudah menerima kondisi Amar. Ayah dan ibunya adalah Kiai dan Bu Nyai, pengasuh pondok pesantren.

Ibunya sering menerima cemoohan tentang kondisi anaknya.

Seorang wanita yang dulu memakai kerudung, bertransformasi menjadi Gus Amar, berkopiah dengan jambang lebat di wajahnya.

Amar pun tak henti meyakinkan dan memberi pemahaman. Amar menjelaskan jika yang dilakukannya diakui dan dihargai dalam Islam.

Berikutnya, orang tuanya mulai menerima kondisi anak bungsu dari tiga bersaudara itu. Keduanya saling menghormati dan mendukung.

Bahkan saat Amar melakukan sidang pergantian nama, orang tua dan kakak Amar hadir untuk memberi kesaksian.

“Saya dengar penjelasan kiai kalau yang dilihat Allah itu ketakwaan kita, bukan gender kita. Saya juga sering diskusi dengan tokoh Islam yang humanis dan menghargai keberagaman. Orang tua saya sendiri alhamdulillah-nya tidak memaksa pun menyerang,” ungkapnya.

Kedua orang tuanya pun menjadi pendukung terbesar bagi Amar. Mereka menyayangi Amar dengan kasih sayang yang tak henti.

Selalu mendengarkan kisah anaknya, pun terbuka dengan apa yang mereka pikirkan terhadap Amar.

Dia mengingat, suatu saat ibunya sempat menyampaikan keinginannya agar Amar kembali menjadi perempuan.

Laki-laki yang merupakan anak ketiga itu menjawab dengan santai.

“Waktu itu ibu bilang, Ibu boleh kan doakan kamu sebagai perempuan? saya menjawab, boleh Bu, itu hak Ibu. Saya juga punya hak untuk saya sendiri. Yang penting kita saling menghargai dan menghormati dan tetap menerima satu sama lain,” katanya.

Membagikan Kisahnya di Twitter

amar alfikar

sumber: instagram.com/amaralfikar

Juni lalu, Amar membagikan kisah pencarian dirinya tersebut lewat sebuah utas di Twitter miliknya @amaralfikar.

Unggahan itu viral di Twitter dan kini telah di-retweet lebih dari 12 ribu kali dan disukai oleh sekitar 35 ribu akun.

Lewat kisahnya, laki-laki yang masuk dalam jajaran kaum minoritas itu mengaku ingin menginspirasi dan mengedukasi orang lain, tentang keberagaman gender.

Meski tak mudah, dia mengaku lebih beruntung dibanding orang lain yang tak mendapat dukungan dari orang tuanya sendiri.

Dia berharap, sedikit kisahnya mampu menggerakkan empati warganet pada kelompok gender minoritas, dan mengikis berbagai ancaman serta kekerasan yang banyak dialami oleh kaumnya.

“Saya ingin mengedukasi masyarakat tentang keberagaman gender. Saya beruntung orang tua saya mendukung menjadi transman, tetapi di luar sana banyak yang tidak. Ada yang sampai dirukiah, diusir, bahkan diperkosa,” katanya.

Amar mengaku, kendati ada komentar negatif dari warganet, dia tetap bersyukur, sebab ada banyak warganet yang memberikan dukungan dan penyemangat baginya

***

Itulah kisah Amar Alfikar, seorang transgender yang merupakan anak kiai asal Kendal.

Simak juga artikel menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.

Sedang mencari perumahan impian di Kota Jakarta?

Kunjungi 99.co/id dan temukan beragam pilihan perumahan seperti di Jakarta Garden City.



Nita Hidayati

Penulis konten
Follow Me:

Related Posts