Bank Dunia mengkritisi skema pembiayaan perumahan di Indonesia, terutama masalah rumah subsidi. Skema yang digunakan di Indonesia disebut lebih menguntungkan bank dan pengembang daripada konsumen.
Kebutuhan akan rumah di Indonesia sangat tinggi seiring pertumbuhan penduduk di sejumlah kota besar.
Pada tahun 2045, diprediksi kebutuhan kepemilikan rumah mencapai 12,1 juta unit.
Sebenarnya, pada 2019, Indonesia mendapat apresiasi dari Bank Dunia atas upayanya mengejar target penyediaan rumah baru dan pengurangan jumlah rumah tidak layak huni.
Namun, Bank Dunia menyoroti masalah skema pembiayaan rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, semisal Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
FLPP dan SSB disebut tidak efisien karena beban biaya di muka dan penambahan utang konsumen di masa depan.
Selain itu, Bank Dunia juga mengkritisi skema penyaluran subsidi melalui Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang dianggap tidak efisien.
Rekomendasi Bank Dunia untuk Pembiayaan Rumah Subsidi
Bank Dunia menuding bahwa skema FLPP dan SSB bersifat regresif, tidak tepat sasaran, dan rentan kebocoran.
Dengan begitu, skema ini disimpulkan tidak dapat memenuhi tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menyediakan perumahan yang inklusif, aman, dan memadai semua kalangan.
Skema pembiayaan rumah subsidi tersebut dituding memiliki kelemahan dalam hal kualitas bangunan dan desain program.
Senior Housing Specialist Bank Dunia, Dao Harrison, mengatakan bahwa KPR subsidi membantu pemerintah Indonesia mencapai target kuantitatif.
Meski begitu, dia menganggap bahwa subsidi tersebut memakan biaya mahal, menciptakan utang jangka panjang, dan risiko tingkat bunga.
“Oleh karena itu, Bank Dunia memiliki beberapa rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas subsidi perumahan,” kata Dao dalam laporannya belum lama ini, dikutip dari rei.or.id.
Bank Dunia, kata Dao, memiliki rekomendasi jangka pendek dan jangka menengah untuk masalah pembiayaan rumah subsidi di Indonesia.
Rekomenasi Jangka Pendek
Dao menyarankan pemerintah untuk mengalihkan sejumlah dana untuk subsidi yang lebih efisien dan tepat sasaran.
Untuk mencapai hal tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah lebih memperhatikan masalah kualitas konstruksi bangunan rumah.
Kemudian, rumah bersubsidi juga harus dibangun di lokasi strategis.
Dengan begitu, pemilik rumah bersubsdi juga mendapat kemudahan dalam mengakses pelayanan dasar, semisal administrasi pemerintahan, transportasi, dan lain-lain.
Dalam segi masalah pembiayaan, Bank Dunia menyarankan pemerintah untuk mengembangkan program subsidi keuangan untuk perbaikan dan perluasan rumah.
Selain itu, pemerintah juga diminta mengembangkan Sistem Informasi Perumahan dan Real Estat (Housing and Real Estate Information System atau SHREIS).
Dengan sistem ini, diharapkan adanya peningkatan kualitas dalam hal proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan rumah terjangkau.
Rekomendasi Jangka Menengah Pembiayaan Rumah Subsidi
Untuk jangka menengah, Bank Dunia menyarankan pemerintah lebih banyak bekerja sama dengan badan usaha yang berhubungan dengan properti.
Melalui skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), diharapkan ditemukannya solusi untuk pembangunan rumah berbiaya murah di lokasi yang strategis.
Melalui kerja sama ini juga diharapkan dapat merumuskan peraturan mengenai sewa sebagai solusi alternatif kepemilikan rumah.
“Pemerintah Indonesia juga perlu mengkaji ulang dan merevisi kerangka kerja peraturan untuk dapat secara jelas menetapkan peran pemerintah daerah (Pemda) dalam menyediakan perumahan yang terjangkau, sambil membangun kapasitas mereka untuk melakukannya,” kata Dao Harrison.
Hanya 20 Persen Rumah Tangga Mampu Beli Rumah Komersial
Menurut data survei Bank Dunia, hanya 20% dari rumah tangga di Indonesia yang mampu membeli rumah komersial.
Dari 20% rumah tangga tersebut, rata-rata biaya yang dihabiskan untuk membeli sebuah rumah adalah Rp440 juta.
Kemudian, sebanyak 261 responden atau 40% mampu membeli rumah dengan skema KPR subsidi.
Sisanya, sebanyak 40%, tidak mampu membeli rumah.
Maka dari itu, Dao berharap pemerintah dapat lebih menggencarkan program subsidi pembiayaan perumahan seperti Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Program kerja sama dengan Bank Dunia tersebut telah berjalan sejak 2018.
BP2BT memberikan bantuan uang muka KPR dengan batas maksimal mencapai Rp32,5 juta.
Perbedaan program ini dengan FLPP dan SSB adalah pada tingkat suku bunga.
FLPP dan SSB menggunakan tingkat suku bunga tetap sebesar 5%, sedangkan BP2BT memiliki flesibilitas menetapkan tingkat suku bunga.
Sementara, untuk biaya cicilan KPR, 100% menggunakan dana sendiri.
Selain KPR subsidi, pemerintah juga mengupayakan beberapa program bantuan untuk membangun rumah yang berkualitas.
Salah satunya adalah program BSPS untuk masyarakat desa.
Dalam program tersebut, masyarakat berpenghasilan rendah mendapat bantuan Rp15 juta sampai Rp30 juta per rumah tangga untuk memperbaiki kualitas rumah.
***
Semoga artikel ini bermanfaat ya, Sahabat 99!
Jangan lewatkan informasi menarik lainnya di situs Berita Properti 99.co Indonesia.
Kamu sedang mencari rumah di Bandung?
Bisa jadi Podomoro Park Bandung adalah jawabannya!
Cek saja di 99.co/id untuk menemukan rumah idamanmu!