Konflik sengketa tanah di Indonesia rupanya hampir terjadi setiap tahunnya dari kasus terkecil hingga terbesar yang melibatkan tokoh-tokoh tanah air hingga korporasi. Bahkan, beberapa di antaranya berjalan bertahun-tahun dan belum terselesaikan hingga kini. Apa saja kasus sengketa tanah yang sempat menyita perhatian?
Kasus sengketa tanah bisa terjadi oleh siapa pun, baik individu dengan pemerintah, antar masyarakat, tetangga dengan tetangga, atau orang dengan perusahaan swasta/BUMN.
Selain itu, sengketa tanah juga terjadi antara terkait Hak Guna Usaha, tanah adat, tanah warisan, sengketa batas dan lainnya.
Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencatat dari 2.145 sengketa agraria yang ditangani pada 2015, hanya 947 kasus yang terselesaikan.
Pada 2016, persoalan yang selesai mencapai 1.570 dari 2.996 sengketa.
Pada 2017, pemerintah hanya menyelesaikan 1.034 perkara dari 3.293 kasus yang ditangani.
Tahun berikutnya, sejumlah 2.546 kasus terjadi dengan kasus selesai sejumlah 1.652 kasus
Pada 2018 tercatat ada 8.959 kasus sengketa yang 56 persennya terjadi antar masyarakat, antara tetangga dengan tetangga, dan sengketa batas.
Mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengaku bahwa sengketa pertanahan menjadi masalah yang paling sering disengketakan di pengadilan.
Bahkan, 70 persen perkara di pengadilan disebut timbul karena konflik tanah.
Penyebab Sengketa Tanah
Sengketa tanah tentu bisa terjadi karena ada penyebabnya.
Lantas, apa saja, sih, penyebab terjadinya sengketa tanah?
Pengacara Elza Syarief dalam bukunya “Menuntaskan Sengketa Tanah” menjelaskan bahwa secara umum hal itu bisa terjadi karena beberapa hal.
Berikut penyebab sengketa tanah:
- Peraturan yang belum lengkap;
- Ketidaksesuaian peraturan;
- Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
- Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
- Data tanah yang keliru;
- Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
- Transaksi tanah yang keliru;
- Ulah pemohon hak;
- Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.
Sahabat 99, ada banyak konflik sengketa tanah yang sempat mencuri perhatian publik.
Meskipun, dari ribuan kasus yang terjadi hanya beberapa saja yang terekspos.
Namun, 99.co Indonesia mencoba merangkum kasus sengketa tanah yang cukup besar, berlarur-larut, dan menyita perhatian publik.
Simak selengkapnya, ya.
6 Kasus Sengketa Tanah yang Mencuri Perhatian
1. Sengketa Tanah di Meruya, Jakarta
Kasus yang cukup fenomenal adalah kasus sengketa tanah di Meruya Selatan yang terjadi sejak 1970.
Mengapa fenomenal? Ini karena tanah yang disengketakan tidak main-main.
Detikcom mencatat seluas 44 hektare menjadi rebutan warga dan perusahaan swasta.
Kemudian, kasus ini pun menjadi perhatian anggota dewan sehingga sampai terbentuk panitia khusus (Pansus) mengusut kasus sengketa tanah tersebut.
Sengketa bermula ketika pada 1971-1972, PT Porta Nigra membeli tanah kepada seseorang bernama Juhri yang mengaku mandor.
Kemudian, Juhri menjual kembali tanah tersebut kepada pihak lain menggunakan sertifikat/girik palsu termasuk pada Pemprov DKI Jakarta.
Lahan itulah yang kini menjadi lahan yang dimiliki warga.
Seiring berjalan, dia diperkarakan dan divonis bersalah selama 1 tahun serta harus mengembalikan ganti rugi berupa tanah kepada PT Porta Nigra.
Hanya saja, dia tidak kunjung membayar ganti rugi sehingga lama-lama lahan sengketa tumbuh menjadi perumahan yang padat.
Pada 1996, PT Porta Nigra melayangkan surat permohonan eksekusi lahan di Meruya Selatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan permohonan itu dikabulkan.
Pemprov DKI Jakarta yang juga merasa memiliki lahan melakukan perlawanan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan menang.
Hanya saja, aksi tuntut menuntut terus berlangsung dan tak terhindarkan.
Pada 2007, PT Porta Nigra dan sebagian warga sepakat berdamai sehingga kemudian memiliki akta perdamaian atau dading.
PT Porta Nigra disebut telah melepaskan lahan kepada warga yang memiliki dading tersebut.
Sementara lahan yang tidak memiliki dading kemudian dipatok dan dipasang pagar kawat sejak 31 Maret 2016 lalu.
Sengketa dengan Pemprov DKI dimasa kepemimpinan Fauzi Bowo juga tak berujung damai.
Pada tingkat kasasi, Porta Nigra akhirnya diputuskan sebagai pemilik sah lahan.
Di antaranya, tanah seluas 291.422 meter per segi di wilayah Kelurahan Meruya Selatan.
Sementara, Pemprov DKI dinyatakan terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pemprov DKI dihukum membayar ganti rugi materiil Rp291.422.000.000 tunai dan membayar kerugian immateril Rp1 miliar kepada Porta Nigra.
2. Sengketa Tanah PT Indonesia Power vs PT Belaputera Intiland
Kasus sengketa tanah selanjutnya telah terjadi sejak belasan tahun lalu dan baru-baru ini sudah terselesaikan.
Dikutip Gatra, keduanya bersengketa selama 15 tahun dan akhirnya sepakat berdamai pada 3 September lalu tanpa menempuh jalur hukum.
Konflik lahan ini sebelumnya terjadi antara PT Indonesia Power (IP) sebagai pengelola PLTA Waduk Saguling dan kontraktor pengembang realestat Kota Baru Parahyangan, PT Belaputera Intiland (PT BI).
Bahkan, kasus antara perusahaan negara dengan swasta ini ditengahi langsung oleh Kementerian ATR/BPN.
Kesepakatannya, PT BI siap melakukan pelepasan lahan seluas 13,91 hektare kepada PT IP.
Tensi konflik lahan ini sebelumnya sempat memanas pada 2015.
Bahkan, PT IP selaku pengelola Waduk Saguling mengadu ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk menuntaskan polemik itu.
PT IP menyebut terjadi overlaping tanah antara HGB Kota Baru Parahyangan dengan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) PT IP.
PT Belaputera Intiland dituduh mencaplok penampang basah Waduk Saguling sekitar 8,1 hektare.
Pembangunan Kota Baru Parahyangan juga dianggap melanggar undang-undang tata ruang tentang larangan mendirikan bangunan di area 50 sampai 100 meter dari elevasi air tertinggi waduk.
3. Sengketa Lahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Sengketa tanah pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, sempat mencuri perhatian.
Konflik antara warga dan PT Bumi Pari Asri ini bahkan menjadi pembahasan di Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta saat itu.
Warga mengklaim tanah tersebut karena sudah tinggal secara turun-temurun, sedangkan PT Bumi Pari Asri merasa telah membeli tanah tersebut dari warga.
Sengketa ini berawal pada 2014 ketika perwakilan PT Bumi Pari Asri mendatangi warga Pulau Pari dan mengakui tempat tinggal mereka sebagai lahan milik mereka.
Perusahaan mengklaim memiliki sertifikat hak milik.
Sementara dalam temuan Ombudsman DKI Jakarta atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) disebut terjadi penyimpangan.
Laporan menyebutkan bahwa 14 sertifikat HGB dan 62 sertifikat hak atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griya Nusa merupakan maladministrasi.
Beberapa warga Pulau Pari bahkan dijebloskan penjara namun divonis bebas dari tuduhan.
Hingga kini, kasus tersebut masih berlarut-larut.
4. Sengketa Lahan di Pubabu, NTT
Sengketa tanah di Pubabu, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, telah terjadi bertahun-tahun.
Ini bermula ketika pada 1982, pemerintah Australia mengontrak hutan Pubabu atau Besipae untuk dikelola sebagai tempat penggemukan sapi selama 5 tahun hingga 1987.
Setelah masa kontrak selesai, pemerintah Australia menyerahkan kembali hutan tersebut kepada pemerintah Indonesia.
Masyarakat adat Pubabu sendiri sebagai pemilik hutan adat.
Pada 1987, tanah ini kemudian dikontrak lagi oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT selama 25 tahun, dari 1987 sampai 2012.
Pada 2010, masyarakat adat Pubabu membangun pemukiman di luar hutan adat yaitu di blukar masyarakat sendiri.
Namun Dinas Peternakan menyurati masyarakat bahwa tanah yang dibangun pemukiman itu masih masuk di dalam kawasan 6.000 hektar yang dikontrak oleh Dinas Peternakan.
Setelah itu di tahun yang sama, Dinas Peternakan ingin melakukan perpanjangan kontrak, namun masyarakat adat Pubabu dengan tegas melakukan penolakan.
Masyarakat adat bersikeras menolak keinginan Pemprov NTT untuk menggunakan lahan di hutan adat yang akan dipergunakan kembali menjadi lokasi peternakan.
Dikutip Media Indonesia, pada awal 2020, pemerintah mengambil kembali kawasan itu untuk dijadikan lahan pengembangan peternakan, pertanian, dan pariwisata.
Hanya saja, semua itu ditolak oleh 37 keluarga yang kemudian memicu konflik.
Warga juga diminta untuk mengosongkan lahan pemukimannya yang merupakan lokasi sengketa.
Pemprov NTT mengambil jalan tengah dengan menawarkan hunian bagi mereka yang menolak.
5. Sengketa Lahan Pondok Pesantren Habib Rizieq
Sengketa lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah milik Rizieq Shihab terjadi pada 2020.
Ponpes tersebut berada di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat terus.
Duduk perkaranya, PTPN VIII mengeklaim bahwa lahan yang menjadi lokasi pesantren tersebut merupakan areal sah milik perusahaan berdasarkan sertifikat hak guna usaha (HGU) Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.
Sementara itu, Habieb Rizieq menyatakan kalau lahan ponpes dibeli dari petani disertai dokumen pembelian yang sudah ditandatangani dan dilaporkan ke RT hingga gubernur.
Meskipun status tanah pesantren adalah HGU atas nama PTPN VIII. Akan tetapi, lahan itu telah digarap oleh masyarakat selama 30 tahun dan PTPN tidak pernah menguasai secara fisik, bahkan menelantarkannya.
Maka dari itu, mengacu pada Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dia menilai kalau masyarakat berhak untuk membuat sertifikat tanah yang digarapnya.
6. Sengketa Lahan Rumah Rocky Gerung
Sengketa lahan rumah Rocky Gerung dan PT Sentul City Tbk. (BKSL) di Bojong Koneng, Babakan Madang, Jawa Barat menyita perhatian publik.
Tanah yang ditempati Rocky Gerung seluas 800 meter persegi diklaim milik Sentul City berdasarkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan BPN.
Sentul City pun melayangkan somasi pada Rocky Gerung.
Sementara itu, Rocky Gerung mengaku membeli oper alih garapan dari orang lain.
Namun, akhir dari sengketa lahan tersebut berujung damai.
***
Semoga bermanfaat.
Simak terus tulisan informatif lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Kunjungi www.99.co/id dan rumah123.com jika kamu sedang mencari rumah impian.
Temukan segala kemudahan dalam mencari hunian karena kami #AdaBuatKamu.
Dapatkan rumah terjangkau dari sekarang salah satunya Botania Lake Residence!