Bingung pilih nikah dulu atau mapan dulu? Kira-kira mana pilihan yang terbaik, ya? Temukan jawabannya di artikel ini, yuk!
“Kalau nikah dan ketemu jodohnya, nggak punya apa-apa pun nggak menjadi soal. Kita menjadi mapan bekerja sama, transparansi antara suami dan istri. Kita merencanakan bersama,” kata mendiang B. J. Habibie.
Perkataan mendiang Eyang Habibie memang ada benarnya, bahwa ingin menikah tak melulu harus benar-benar mapan secara finansial, sebab kemapanan bisa diraih bersama-sama.
Bagi orang-orang yang telah menginjak usia dewasa, tak sedikit dari mereka yang dibuat galau dengan pertanyaan “Menikah atau mapan dulu?”.
Sejatinya, baik itu memilih nikah dulu atau mapan dulu, keduanya tetap membutuhkan pertimbangan yang matang.
Secara teori, lebih banyak orang yang beranggapan mapan dulu baru menikah sebagai pilihan yang paling masuk akal.
Menikah memang bukan sekadar bermodalkan cinta, ada juga hal lain yang tak kalah penting.
Pada kenyataannya, di generasi saat ini, tidak sedikit juga pasangan yang memilih menikah dulu sebelum mapan karena kemapanan secara finansial bisa diperjuangkan bersama-sama.
Terlepas dari memilih nikah dulu atau mapan dulu, setiap orang tetap sah-sah saja memilih yang mana, namun tetap harus disesuaikan dengan tujuan dan kemampuan masing-masing.
Nikah Dulu atau Mapan Dulu?
Memilih antara nikah dulu atau mapan dulu memang bukanlah hal yang mudah, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan dipastikan terlebih dahulu.
Mari kita melihat sudut pandang orang-orang yang memilih nikah dulu atau mapan dulu…
Memilih Menikah Dulu
Memilih menikah dulu atau pun menunggu mapan dulu, keduanya sama-sama punya tantangan tersendiri.
Yusuf, seorang copy editor di sebuah perusahaan media internasional, memutuskan untuk menikah di usia 25 tahun.
Ada beberapa alasan kenapa ia memilih untuk menikah dulu di usia yang terbilang masih relatif muda.
“(Menikah) karena ada kesempatan. Target awal saya adalah menikah di tahun 2023-2024 agar terkumpul uangnya dulu untuk kontrak atau DP rumah. Namun, mertua menyuruh saya untuk menikah segera agar hubungan kami halal,” ungkap Yusuf kepada 99.co Indonesia.
“Mertua pun mengatakan bahwa mereka khawatir jika tidak disegerakan, mereka tidak akan menyaksikan pernikahan putrinya karena alasan umur. Saya pun mengiyakan, dengan syarat saya dan istri boleh tinggal menumpang di rumah mertua untuk beberapa tahun,” sambungnya.
Memilih menikah dulu, bukan berarti kurang kesiapan. Tetap ada hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menuju langkah besar tersebut.
Menurut Yusuf, hal-hal yang perlu diperhatikan apabila memilih untuk menikah dulu adalah modal, kesiapan mental, visi dan misi, kemantapan hati dengan pasangan yang dipilih, serta kesiapan agama.
Terkait finansial, salah satu hal yang tak luput jadi pertimbangan ketika memutuskan untuk menikah dulu adalah memilih antara resepsi mewah atau DP rumah.
Sebagian orang memilih untuk resepsi mewah karena beberapa alasan, misalnya momen tersebut hanya terjadi sekali seumur hidup.
Di samping itu, sebagian berpikir resepsi yang mewah hanya pemborosan dan lebih baik dialokasikan untuk hal-hal yang lebih penting seperti membeli rumah.
Dalam berumah tangga, pasangan yang baru menikah sering dihadapkan dengan keputusan untuk memilih tinggal terpisah atau ikut dengan orang tua.
Masing-masing pilihan tersebut memiliki plus dan minusnya, tergantung dari siapa yang menjalaninya.
“Minusnya karena tinggal dengan mertua adalah kurangnya privasi dan perasaan tidak enak karena belum bisa membahagiakan anaknya sepenuhnya, dengan cara memiliki rumah dan mobil sendiri, misalnya. Meskipun demikian, saya cukup dekat dan akrab dengan mertua saya. Mertua saya amat baik dan akomodatif dengan keadaan kami. Sedikitpun tidak pernah saya dibuat tidak nyaman oleh mertua,” ungkap Yusuf.
Memilih Mapan Dulu
Definisi mapan dalam pernikahan tidak melulu soal kemapanan secara finansial, tetapi ada kemapanan secara mental—pun terkait hal ini, setiap orang selayaknya telah menentukan standar kemapanan bagi diri mereka sendiri.
Muhammad Rafely, seorang admin media sosial, dan Adhelia Fitri, beauty enthusiast pemilik akun Instagram @blackxugar, memutuskan untuk memilih mapan dulu sebelum menikah.
Mereka berdua telah menentukan bagaimana standar kemapanan yang ingin mereka capai, sebelum nantinya melanjutkan ke jenjang pernikahan.
“Mapan dalam pernikahan berarti siap secara mental dan materi. Secara materi berarti sudah memiliki aset untuk rumah tangga dan juga tabungan yang cukup di masa depan. Secara mental berarti sudah siap untuk membangun rumah tangga, menjadi kepala keluarga, dan memiliki rencana untuk melakukan apa yang harus dilakukan pasca menikah,” jelas Rafely.
Di samping itu, Adhelia memiliki standar berbeda terkait kemapanan yang ingin diraih sebelum menikah.
“Mapan kalau untukku lebih ke kesiapan dan kepuasan pribadi dulu, sebelum ke kesiapan secara bersama. Banyak banget kasus, terutama pada perempuan, yang jadinya menganggap pernikahan tidak memberikan kepuasan karena mereka menikah dalam keadaan tidak siap. Menikah memang bukan hambatan, tapi menikah menurutku adalah fase baru dalam hidup. Kita harus yakin fase hidup yang sebelumnya sudah terpenuhi, sebelum melanjutkan ke fase yang lain,” ungkap Adhelia.
Mapan secara mental sebaiknya memang sudah harus terpenuhi sebelum memutuskan untuk menikah, sebab kehidupan nantinya kehidupan pernikahan bukan lagi tentang diri sendiri.
Selain mempersiapkan mental, kita juga harus mempersiapkan finansial agar berumah tangga terasa lebih ringan.
“Standar mapan di luar pernikahan, sudah punya aset yang cukup dan dana pensiun sudah mulai berjalan. Kalau dalam konteks pernikahan, aku sudah siap dan yakin memulainya, dan pasangan juga berpikiran begitu,” tutur Adhelia.
Rafely dan Adhelia memiliki alasannya masing-masing kenapa mereka memutuskan untuk memilih menunggu mapan, baru kemudian menikah.
Menurut Rafely, ia banyak melihat contoh pasangan menikah muda yang terbebani secara mental dan materi.
Sedangkan bagi Adhelia, ia berasal dari keluarga dengan kehidupan yang sulit, sehingga baginya pernikahan lebih baik dipersiapkan dengan matang.
Banyak orang beranggapan kalau menikah menunggu mapan, mereka akan lama menikah, bahkan usianya bisa dibilang sudah tidak muda lagi.
Namun hal tersebut kembali kepada masing-masing individu yang menjalani, sebab setiap orang pasti menentukan kriteria mapan serta batasan umur untuk menikah.
“Aku dan pasangan menargetkan usia 29. Tapi kalau belum siap di usia segitu, ya tidak apa-apa,” Rafely dan Adhelia sepakat dengan target yang telah mereka tentukan.
Menikah menunggu mapan nyatanya memberikan kesiapan lebih bagi orang-orang yang melakukannya, khususnya dari kesiapan finansial dan mental.
Meski tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan ini juga mungkin ada kekurangannya, semisal stigma dari masyarakat atau bahkan tuntutan sosial.
“Banyak plusnya. Aku bahkan bisa belajar dari cerita teman sebaya yang sudah menikah. Menambah wawasan saat nanti menikah, yang semoga bisa membantu juga. Lebih fokus ke pengembangan diri aku sendiri, membuat aku puas dengan pencapaianku. Aku berharap saat menikah nanti, aku sudah merasa aku menikah sebagai diriku yang terbaik. Minusnya belum terasa mengganggu, sih. Paling hanya keluarga yang pernah minta untuk segera menikah. Tapi overall, semua orang di sekitarku menghormati keputusanku,” kata Adhelia.
Meraih Kesiapan Finansial Sebelum Menikah
Banyak orang menganggap mapan secara finansial adalah kaya, sudah memiliki rumah hingga mobil.
Padahal, mapan finansial ini memiliki arti yang luas dan setiap orang memiliki tolok ukurnya sendiri.
“Yang perlu diperhatikan disini adalah tingkat atau kadar kemapanan seseorang. Tentunya akan berbeda baik dari individu hingga budaya keluarga atau circle orang tersebut,” kata Muhammad Faruq Al Hadid, Financial Planner.
Menurut Faruq, seseorang yang menikah dulu di usia muda biasanya akan tetap produktif ketika anaknya beranjak dewasa karena masih membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan menikah.
Ia memberi contoh jika seseorang menikah di usia 25 tahun, lalu anak pertamanya lahir di usia 26 tahun, maka anak tersebut akan masuk perguruan tinggi ketika usia orang tuanya 44 tahun.
“Biasanya di usia 44 tahun tersebut, karier berada di puncak-puncaknya atau setidaknya sudah memiliki uang untuk membiayai anaknya kuliah. Kenapa patokannya kuliah? Karena kuliah relatif membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan tingkat pendidikan sebelumnya,” paparnya.
Setiap orang memang memiliki standar kesiapan finansial yang berbeda-beda, namun adakah tolok ukur yang bisa dijadikan acuan ketika memutuskan untuk berumah tangga?”
“Seminimalnya mampu untuk menghidupi kebutuhan hidup bulanan seseorang ditambah dengan istrinya nanti (2 kali lipat). Jika nantinya memiliki anak, tentu harus meningkat juga kemampuan untuk menghidupi keluarganya.”
Untuk meraih kesiapan finansial, kita harus belajar dan melek finansial supaya bisa mengelola pemasukan dan pengeluaran dengan baik.
Faruq menyebutkan ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam manajemen keuangan:
- Paham dengan betul antara kebutuhan dan keinginan
- Biasakan untuk membuat anggaran pengeluaran dan pemasukan
- Catat pengeluaran untuk kemudian dapat dievaluasi (defisit/surplus/sesuai bujet atau tidak)
- Menabung sebanyak mungkin
- Alokasikan investasi pada aset sesuai tujuannya (jangka panjang bisa ke saham/reksa dana saham, jangka menengah bisa ke reksa dana campuran, pendapatan tetap atau P2P lending, dan jangka pendek bisa ke reksa dana pasar uang)
- Menerapkan konsep SMART (specific, measurable, achievable, relevant, time-table) dalam membuat tujuan-tujuan keuangan
Kesiapan Mental dalam Berumah Tangga
Di samping finansial, hal yang tak kalah penting untuk dipersiapkan sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan adalah kematangan secara mental yang berkaitan dengan emosional.
“Mapan secara emosional yang dimaksud adalah ketika kita sebagai individu sudah memiliki kemampuan untuk dapat siaga terhadap diri sendiri dan mampu mengidentifikasi perasaan diri sendiri, artinya saat seseorang menyadari tidak semua hal yang diinginkan harus terpenuhi dan saat seseorang bisa memilah mana yang ia butuhkan dan mana yang ia inginkan,” tutur Yashika Angesti Faradhiga, Psikolog Klinis Dewasa.
Lebih lanjut menurut Yashika, berikut ini poin-poin yang menjadi kriteria mapan secara emosional:
- Memiliki kemampuan untuk memberi dan menerima cinta dengan tulus, tidak berat sebelah ataupun bersikap egosentris. Kita tidak mengharapkan menerima cinta namun tidak memberikan cinta, begitupun sebaliknya.
- Memiliki kemampuan untuk menerima realita dan menghadapinya, bukan menghindari masalah yang terjadi atau bersikap tidak peduli dengan harapan masalah tersebut akan selesai dengan sendirinya.
- Memiliki kapasitas untuk berhubungan positif dengan pengalaman hidup, dimana kita memandang pengalaman hidup sebagai proses pembelajaran, dan ketika ada pengalaman negative dan tidak mengenakkan, kita mampu untuk menerima hal tersebut mencari peluang untuk bisa berhasil di kesempatan yang lain.
- Memiliki kemampuan untuk mengenali emosi yang ada di dalam dirinya dan mengetahui bagaimana cara untuk mengekspresikannya dengan cara yang baik serta tidak menyakiti pihak lain.
- Memiliki pengetahuan mengenai peran dan tanggung jawab yang akan dijalani seperti apa. Bukan hanya peran sebagai suami maupun istri saja, melainkan peran dan tanggung jawab di antara pasangan perlu dipahami, agar selama pernikahan tidak ada konflik peran siapa harus apa dan siapa yang lebih dipentingkan di dalam rumah tangga.
Kebanyakan orang cenderung mengesampingkan kemapanan emosional dalam pernikahan dengan alasan hal tersebut bisa dibangun bersama selama menjalani pernikahan.
Lantas untuk menuju jenjang pernikahan, apakah kita harus benar-benar mapan secara emosional?
“Kalau saya yang bilang, harus! Kenapa? Karena ketika kita dan pasangan sudah mapan secara emosional, masalah apapun yang terjadi selama pernikahan akan mungkin untuk diselesaikan secara lebih mudah karena kita sudah paham mengenai kapasitas kita masing-masing dalam mengemban peran maupun tanggung jawab masing-masing,” ungkap Yashika.
Meski demikian, Yashika pun menjelaskan bahwa proses mapan secara emosional ini juga dapat berkembang selama pernikahan.
Pernikahan merupakan kerjasama antara dua manusia yang saling berkomitmen, bukan salah satu saja.
Meraih Kemapanan Emosional Sebelum Pernikahan
Pada dasarnya, kemapanan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengekspresikan emosi secara tepat dan benar.
Hal tersebut tentu tidak bisa diraih secara instan, melainkan harus dilatih melalui pola pikir dan bagaimana kita bersikap
Menurut Yashika, berikut ini adalah hal-hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kemapanan emosional sebelum menikah:
- Mengenali tingkat emosi pasangan dan tingkat emosi diri sendiri. Coba mengidentifikasi emosi yang muncul dengan keadaan yang sedang terjadi. Kenali sebab dan latar belakang emosi tersebut muncul. Ini akan membantu kita agar tidak terpancing untuk saling membalas jika terjadi suatu konflik.
- Belajar untuk mengatasi konflik yang mungkin terjadi. Ini diperlukan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Cobalah untuk memandang dari berbagai sisi ketika konflik terjadi dan mencari cara mengatasi masalah yang bisa kamu dan pasangan gunakan. Karena semua hal yang awalnya diselesaikan dan dipikirkan sesuai dengan cara ‘kamu dan dia’. Namun, saat menikah semuanya harus berakhir dengan cara ‘kami’. Artinya, jika semula keputusan didasarkan keinginan masing-masing individu, ketika sudah menikah keputusan harus dilakukan berdasarkan keinginan bersama.
- Memandang sesuatu dengan lebih realistis. Cobalah untuk memikirkan sesuatu secara lebih realistik atau sesuai dengan kenyataan. Belajar untuk mengubah ekspektasi-ekspektasi yang ada dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Hal ini membantu kita untuk bisa mengendalikan pikiran kita sendiri terhadap pernikahan itu sendiri.
Pentingnya Punya Rumah Setelah Menikah
Bukan rahasia umum lagi jika harga properti terus naik dari tahun ke tahun sampai-sampai cukup sulit dijangkau.
Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi kalangan milenial, bahkan muncul anggapan bahwa ‘milenial sulit punya rumah’.
“Melihat harga rumah sekarang yang boleh dibilang ‘mahal’ itu, jarang orang yang belum berkeluarga atau belum mapan itu bisa beli properti. Karena kita tahu sendiri harga properti sekarang itu, apalagi di Jakarta, harga di bawah Rp1 M itu tidak banyak,” kata Anton Sitorus, Konsultan Properti Jones Lang LaSalle.
Melihat tingginya harga properti saat ini, KPR menjadi salah satu pilihan terbaik untuk memilih hunian.
Kendati demikian, kita juga harus menyesuaikan berapa pendapatan minimal ketika ingin mengajukan KPR.
“Kalau misalnya di bawah Rp1 M aja mungkin kalau dia ambil KPR itu per bulannya bisa sampai di atas Rp5 juta. Berarti kalau begitu, dia mesti gaji berapa? Makanya kalau kita lihat, yang kita tahu ya, pembelian properti itu ya orang yang sudah berkeluarga,” tuturnya.
Terkait KPR, orang yang sudah berkeluarga memang lebih mudah memiliki rumah karena biasanya memiliki dua sumber pendapatan, dari suami dan istri.
“Punya gaji bulanan, di mata perbankan itu lebih aman dibanding kalau misalnya orang yang pendapatannya itu sektor informal.”
Di samping itu, menurut Anton, orang yang sudah berkeluarga pun lebih spesifik dalam mencari properti karena paham betul dengan apa yang dibutuhkan.
Seperti apa kata Tere Liye, “Pernikahan adalah urusan jangka panjang. Maka jangan dibangun dari rasa suka jangka pendek. Tidak akan cukup bensinnya. Bisa mogok,” ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk melangkah ke tahap itu.
Jadi, kamu tim nikah dulu atau mapan dulu? Jika kamu masih ragu-ragu pilih nikah dulu atau mapan dulu, pertimbangkan lagi setiap pilihan sebaik mungkin!
Demikian hal-hal yang sebaiknya jadi pertimbangan ketika memilih nikah dulu atau mapan dulu.
Semoga bermanfaat, Sahabat 99.
Simak informasi menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Kunjungi www.99.co/id dan rumah123.com untuk menemukan hunian impianmu dari sekarang.
Dapatkan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan properti, karena kami selalu #AdaBuatKamu.
***
Penulis Utama: Alya Zulfikar
Editor: Bobby Agung Prasetyo
Penanggung Jawab: Elmi Rahmatika F. A.
Tim Penulis:
Artikel ini merupakan rangkaian liputan khusus Tim Berita 99.co Indonesia yang termuat dalam 99 Property Magazine Edisi 04: Jalan Panjang Menuju Rumah Impian.