Terkenal memiliki modal politik besar, nyatanya Prabowo Subianto selalu kalah dalam ajang Pilpres Indonesia. Menurut sejumlah teori yang beredar, ini terjadi karena karakternya yang kurang “Jawa”. Benarkah begitu?
Prabowo terkenal sebagai salah satu tokoh politik paling berpengaruh di tanah air.
Ia memiliki partai, koneksi internasional, kekuatan ekonomi, hingga wibawa yang tinggi.
Anehnya, meski memiliki modal politik yang besar, ia selalu kalah dalam ajang Pemilihan Presiden Indonesia.
Bahkan, sejauh ini ia telah mengalami tiga kali kekalahan di Pilpres.
Beberapa spekulasi pun beredar luas di masyarakat, salah satu yang paling menarik adalah pandangan bahwa ia kalah karena kurang “Jawa”.
Yuk, kupas-tuntas kaitannya budaya Jawa dengan kekalahan politik Prabowo Subianto dalam artikel berikut ini!
Prabowo Subianto Disebut Kurang “Jawa”
Dilansir dari pinterpolitik.com, perbedaan terbesar Presiden Jokowi dan Prabowo adalah kemampuan mereka dalam menerapkan budaya Jawa.
Masyarakat Jawa mengenal tiga peribahasa Jawa yang sangat cocok dengan budaya politik praktis, yakni:
- Wong Jawa nggone semu (orang Jawa cenderung semu atau terselubung).
- Sinamun ing samudana (ditutup kata-kata tersamar).
- Sesadone ingadu manis (ada masalah apapun hadapi dengan muka manis).
Ini sejalan dengan pandangan filsuf Jerman Hannah Arendt yang memandang bahwa seorang negarawan harus memiliki keahlian berbohong.
Konteks berbohong dalam hal ini bukanlah sesuatu yang negatif, tetapi cenderung netral.
Arena politik identik dengan budaya yang anarkis, serba tidak pasti, dan penuh pertentangan.
Oleh sebab itu, seni berbohong untuk menyebunyikan motif individu sangatlah penting.
Ambil contoh pada Pilpres 2014, Jokowi yang kala itu menjadi Gubernur DKI Jakarta menyatakan bahwa ia tidak terpikir untuk maju sebagai calon presiden.
Namun, fakta berkata sebaliknya, ia maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Berbeda dengan Prabowo yang sejak awal komunikasinya frontal dan terbuka.
Ia dengan tegas menunjukkan ambisinya untuk menjadi Presiden, gestur yang menurut sejumlah pihak kurang politis.
Budaya Jawa Mempengaruhi Budaya Politik
Komunikasi politik Prabowo Subianto yang frontal membuatnya terkenal sebagai politisi yang “lurus”.
Hal ini didukung dengan latar belakang keluarganya yang terhormat serta bergerak di bidang pendidikan.
Padahal, dominasi masyarakat Jawa di Indonesia telah membentuk lanskap politik di mana para pemimpin berprilaku seperti penguasa Jawa.
Artinya, kekuasaan dalam budaya Jawa lebih merujuk pada aspek spiritual yang melampaui batas fisik.
Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah, tetapi bagaimana penguasaan diri seseorang atas orang lain.
Oleh sebab itu, ritual mengumpulkan pusaka atau sosok berpengaruh adalah hal yang normal dalam meraih kekuasaan.
Hal ini tertuang dalam tulisan Aris Huang yang berjudul Jokowi-Prabowo political reconciliation as Javanese strategy di New Mandala.
Pada tahap mengumpulkan sosok berpengaruh ini kemampuan untuk menyembunyikan motif berperan penting.
Nah, penerapan budaya Jawa inilah yang tampaknya lebih menonjol dalam aktivitas politik Jokowi dan kurang terlihat pada Prabowo.
Bagaimana, apakah menurutmu pandangan di atas cukup masuk akal
***
Semoga bermanfaat ya, Sahabat 99!
Simak artikel menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Jangan lupa, kunjungi 99.co/id serta Rumah123.com yang selalu #AdaBuatKamu untuk menemukan hunian impian!
Ada banyak pilihan properti menarik, seperti kawasan Arnavat Darpha di Deli Serdang.