Konflik agraria di Indonesia kian hari kian tak tampak ujungnya. Setelah berbagai upaya tak menuai hasil, kali ini pemerintah menawarkan skema baru untuk menyelesaikan konflik pertanahan.
Rencana penanganan konflik pertanahan yang baru ini diharapkan dapat menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi.
Menurut Direktur Sengketa dan Konflik Wilayah II Kementerian ATR/BPN Daniel Adityajaya, konflik pertanahan yang sudah berlangsung lama harus segera dituntaskan.
Oleh karena itu, langkah pertama yang akan dilakukan dalam rencana baru ini yakni melakukan penelitian subjek dan objek pertanahan.
8 Skema Penanganan Konflik Agraria yang Diajukan Pemerintah
Ditjen VII Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menyebut ada delapan skema dalam rencana baru ini.
“Pihak-pihak yang mengklaim menguasai tanah tersebut, perlu diteliti lebih lanjut,” ujar Daniel, seperti dikutip Kompas.com dari laman Kementerian ATR/BPN, Rabu (13/5).
Delapan skema penelitian untuk penanganan konflik agraria yang dimaksud yaitu:
- Klaim masyarakat dan penguasaan fisik berupa status Hak Guna Usaha (HGU) aktif;
- Klaim masyarakat berupa HGU masih aktif;
- Klaim masyarakat dan kepemilikan data yuridis berupa status HGU aktif;
- Masyarakat pemilik HGU aktif akan diperpanjang;
- Masyarakat menguasai fisik tanah dengan status HGU akan diperpanjang;
- Masyarakat mengklaim dan menguasai fisik tanah namun status HGU mati;
- Masyarakat mengklaim status HGU sudah mati; dan
- Masyarakat menguasai fisik tanah namun status HGU sudah mati.
Baca Juga:
Ibu Menjual Tanah Warisan, Haruskah Minta Izin Pada Anak?
Benarkah Konflik Agraria Banyak Disebabkan Mafia Tanah?
Ketua badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Alfi Syahrin menyebut banyak konflik agraria terjadi akibat ulah mafia tanah.
“Segera tangkap para mafia tanah penyebab maraknya sengketa dan konflik tanah di Indonesia,” ujar Syahrin tegas.
Ia berharap rencana ini bisa menjadi langkah konkret pemerintah dalam memberantas mafia tanah dan menyelesaikan konflik pertanahan.
Masyarakat Korban Konflik Pertanahan Merasa Tak Dilindungi Pemerintah
Bagi masyarakat, reformasi agraria yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo tak lebih dari ilusi.
Buktinya, banyak masyarakat dari mulai Pulau Jawa hingga Papua yang menjadi korban konflik pertanahan.
Apalagi masyarakat adat yang mayoritas tak memiliki legalitas tanah, seringkali jadi korban.
Contohnya terjadi pada warga adat Laman Klinipan di Kabupaten Lamandau, Kalteng dan warga Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulteng.
Menurut laporan Komnas HAM yang dikutip Mongabay, dalam lima tahun terakhir konflik tanah terus meningkat.
Luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi dalam berbagai sektor.
Menurut peneliti Sajogjo Institute Eko Cahyono, masih banyaknya laporan konflik agraria membuktikan bahwa langkah penyelesaian konflik dari pemerintah belum terwujud.
“Ada yang aneh dengan program reforma agraria digenjot tapi konflik agraria masih terus meningkat,” ujar Eko seperti dikutip Mongabay (31/12/19).
Menurutnya, kegagalan reformasi agraria karena baru sebatas tahap legalitas lahan dan sertifikasi.
Padahal, menurutnya langkah tersebut tak menyelesaikan konflik, tetapi hanya membuat lahan yang disengketa menjadi legal.
Baca Juga:
Tanah Belum Dikembalikan Negara, Kakek Ini Ikhlas Hidup Seadanya
Semoga artikel ini bermanfaat ya, Sahabat 99!
Daripada disimpan dan dibaca sendiri, mending share artikel ini ke media sosial yuk.
Jangan lupa, baca berita properti menarik lainnya hanya di 99.co Indonesia ya.
Ingin cari properti? Pastikan untuk mencarinya di www.99.co/id.