“Uang, berilah aku rumah yang murah saja, yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku,” tulis penyair, Joko Pinurbo dalam puisinya yang berjudul “Kepada Uang”.
Lirik dari sepenggal puisi Jokpin di atas sangat relevan dengan perkara kepemilikan hunian masa kini.
Harga tanah mahal dan keterbatasan lahan pembangunan merupakan segelintir masalah yang membuat masyarakat kesulitan punya rumah di Indonesia.
Hal itu terlihat dari data yang ditemukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (2020), bahwa tingginya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) saat ini telah mencapai 12,75 juta unit.
Tak berhenti sampai di sana, untuk tinggal di tempat huni yang layak dan nyaman pun masih terasa sukar bagi segelintir orang, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Padahal, tinggal di rumah yang nyaman adalah sumber kebahagiaan luar biasa bagi manusia.
“Itu merupakan kebutuhan teratas setelah kesehatan dan hati nurani yang baik,” ungkap Sydney Smith dalam buku biografi A Memoir of the Reverend Sydney Smith yang ditulis Lady Holland.
Kesulitan MBR Punya Rumah Layak
Kementerian PUPR sebenarnya sudah mengesahkan definisi rumah layak huni secara sederhana, sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 24 huruf a.
“Rumah yang layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni,” isi dari UU PKP tersebut.
Namun kenyataannya, keterjangkauan MBR dalam memperoleh hunian dengan kriteria yang simpel itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Riset yang dilakukan Kementerian PUPR (2016) pada modul Peningkatan Kualitas Rumah Tidak Layak Huni menunjukkan banyak masyarakat MBR kurang bisa menjangkau rumah legal, sehat, dan memenuhi syarat.
Selain karena harga rumah yang tinggi, stok rumah juga tidak tersedia bagi mereka.
Sebetulnya, pemerintah sudah mencoba terapkan konsep Rumah Sangat Sederhana (RSS) di lapangan, tapi harganya masih belum terjangkau oleh kelompok masyarakat tersebut.
Kepada Berita 99.co Indonesia, Corporate Secretary PT Intiland Development, Theresia Rustandi memberi contoh nyata kondisi hunian yang ditempati MBR di Jakarta.
“Di sana, banyak perumahan kumuh yang memang sempit, dihuni banyak sekali orang, dan tidak ada ventilasi. Bisa dilihat di Jatinegara. Dulu di Kampung Melayu, banjirnya luar biasa memiliki dampak merugikan,” tutur Theresia, Senin (1/8/2022).
Rumah Kecil yang Dihuni Delapan Orang
Persoalan punya hunian tidak layak bukan cuma dialami masyarakat ibu kota, tapi juga menimpa segelintir penduduk daerah.
Di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, Banjar Patroman, rumah sangat sederhana yang dihuni lebih dari satu keluarga telah menjadi pemandangan rutin.
Hal itu dialami Nurhayati, 53 tahun, penduduk Kelurahan Banjar yang tinggal di rumah kecil dan dihuni delapan orang.
Nur menggambarkan, rumahnya hanya terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang keluarga, dan 1 kamar mandi.
Pembagian ruang tidurnya pun sangat terbatas, di mana kamar utama diisi oleh sang adik, istri, dan dua anaknya. Sementara satu kamar lain dihuni Nur dan anak laki-lakinya.
“Rudet dan sumpek banget, apalagi di ruang tengah. Jadi kalau di rumah, saya seringnya di kamar aja,” keluh Nur kepada 99.co Indonesia, di Banjar, Sabtu (23/7/2022).
Kamar yang ditempati Nur sebetulnya sempit dan banyak barang. Namun jika dibandingkan dengan ruang tengah, kamarnya jauh lebih rapi dan tenteram.
“Banyak anak kecil, jadi sering berantakan dan kotor. Orang tuanya juga kurang ada kesadaran untuk bersih-bersih,” katanya.
Terpaksa Tempati Rumah Warisan
Sebenarnya, 8 orang yang menempati rumah itu merupakan 3 keluarga yang diwariskan satu rumah dengan luas tanah 12 bata atau 168 m2.
“Setelah emak saya meninggal, rumah dibagi-bagi tanahnya. Nah pembagiannya, saya dan kakak disatukan dapet 6 bata dan sisanya buat adik laki-laki saya,” ungkap wanita yang akrab disapa Nur tersebut.
Hingga saat ini, Nur terpaksa menempati rumah warisan karena masih belum bisa beli rumah sendiri.
Kondisi itu terasa wajar, sebab, Nur hanya mengandalkan kehidupannya dari hasil penjualan toko kelontong di pinggir jalan.
Pendapatannya pun tak terlalu besar. Rata-rata, ia peroleh kurang lebih Rp300 ribu per hari.
Sejumlah uang itu dirasa Nur terlalu ngepas untuk kebutuhan hidup, modal dagangan, dan bayar cicilan di bank.
Belum lagi, ia harus memberi uang kepada 2 anak dan 3 keponakannya setiap hari.
“Anak kedua saya ‘kan baru masuk kerja, otomatis belum dapat gaji. Ya, uangnya buat dia makan dan beli bensin. Setiap hari kasih Rp15 ribu. Terus anak pertama sudah menikah, dia bantu-bantu saya jualan. Sering saya kasih uang juga buat dia makan,” ucap Nur.
Untuk tiga keponakannya, masing-masing anak diberi Rp2 ribu per hari. “Enggak cukup sekali mereka minta,” tambahnya.
Menanggung Beban Keuangan Keluarga
Nurhayati hanya satu dari sekian banyak orang dewasa yang harus menanggung beban finansial keluarga serta memikirkan kelangsungan rumah tangga.
Situasi Nur ini dikenal dengan istilah sandwich generation atau generasi sandwich.
Istilah generasi sandwich diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller pada 1981 melalui jurnal yang berjudul The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging.
Dalam jurnal tersebut, sandwich generation diartikan sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup orang tua dan anak-anak mereka.
Namun kini, makna sandwich generation bertransisi meluas menjadi kelompok yang terdiri atas empat generasi keluarga yang saling ketergantungan dalam beberapa hal, seperti keuangan.
Jadi, hubungan yang ditekankan generasi sandwich dewasa ini bukan hanya pada orang tua dan anak, tapi juga banyak pihak, seperti saudara, keponakan, dan lainnya.
Umumnya, kelompok ini rentan mengalami banyak tekanan karena mereka merupakan sumber utama penyokong hidup keluarga.
Kenyataan itulah yang membuat orang-orang seperti Nur, salah seorang “generasi terjepit“, kesulitan punya rumah layak.
Bahkan, untuk sekadar renovasi rumahnya pun Nur masih belum merasa mampu.
“Kalau mau renovasi rumah saya, minimal dari nol supaya bisa dipisah rumahnya. Ya, harus punya Rp50 juta, itu hasilnya bakal sederhana banget,” bebernya.
Membiayai Orang Tua yang Tak Berpenghasilan
Nurhayati tak sendiri. Di Bandung, seorang karyawan PT Migas Utama Jabar, Afdilla Gheivary, pun bernasib serupa; menanggung keuangan beberapa anggota keluarganya.
Alokasi pendapatan Afdilla bukan hanya mengalir pada kebutuhan rumah tangga, tapi juga untuk orang tua.
Tanggung jawab itu ia pikul karena orang tua sudah tak berpenghasilan. “Jadi full dari anaknya,” ujar Afdilla saat diwawancara.
Afdilla menuturkan, sejak awal bekerja pada 2014, ia memberi uang sebanyak 25 persen dari gaji setiap bulan kepada mereka.
“Jika dilihat dari sisi budgeting, pastinya jadi ada pos pengeluaran tambahan,” kata pria berusia 32 tahun tersebut.
Miliki Rasa Syukur dan Optimisme
Meski begitu, Afdilla tak merasa kewajiban menafkahi orang tuanya menjadi beban berat.
“Buat saya hal itu jadi privilege karena tidak semua orang punya kesempatan dan mampu biayai orang tua,” tuturnya.
Ia percaya, rutinitas memberi seperempat gajinya merupakan rezeki orang tua yang telah dititipkan oleh Tuhan lewat sang anak.
Terlebih, setelah orang tua bangkrut dan semakin menua, Afdilla merasa kondisi ekonomi mereka menjadi labil dan perlu support darinya.
“Alhamdulillah masih punya kesempatan sampai saat ini, mungkin karena doa orang tua juga,” ucapnya.
Disiplin Atur Keuangan
Kebersyukuran itu bukan hanya buah dari kestabilan pekerjaan yang ia geluti, tapi juga berkat kedisiplinan dalam mengatur keuangan.
Selama ini, Afdilla cenderung menggunakan uang seperlunya saja untuk kebutuhan konsumsi.
“Sebagian besar saya sisihkan untuk menabung atau investasi,” tukas dia.
Bahkan, ia pun getol mencari banyak sumber penghasilan lain.
Ya, tak ada impian yang sulit direalisasikan jika seseorang memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh.
Dalam kisah Afdilla, menekan biaya konsumtif dan mencari pendapatan baru bisa menjadi jalan untuk mewujudkan mimpi punya rumah pertama.
Dengan begitu, setelah 4 tahun bekerja dan menabung, pada 2018, ia putuskan ambil KPR untuk beli hunian Rp830 juta di Bandung.
Kini, rumah dengan luas tanah 100 m2 dan luas bangunan 110 m2 tersebut mampu menjadi tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi keluarga kecilnya.
Keinginan Memutus Rantai Generasi Sandwich
Harus diakui, hidup menjadi salah satu generasi sandwich bukanlah hal yang mudah.
Mereka harus terus bekerja keras siang dan malam untuk mendapat pemasukan.
Di lain sisi, generasi sandwich harus bertanggung jawab, baik secara emosional maupun finansial terhadap banyak pihak.
Maka itu, keinginan untuk memutus rantai “roti lapis” sangat diidamkan mereka, termasuk Afdilla.
Walau terasa berat di awal perjuangan, pasti akan lebih tenang dan bahagia saat berhasil keluar dari jeratan masalah ini.
“Bisa dimulai dari kita, yaitu dengan mempersiapkan kondisi finansial sejak dini. Maka, kita akan mandiri secara finansial untuk bekal masa tua nanti,” ucap Afdilla.
Idealnya, sambung Afdilla, orang tua memang harus mandiri secara finansial di usia senja.
Peran Pemerintah pada Persoalan Kepemilikan Rumah MBR
Andil pemerintah dalam mengurangi dampak buruk sandwich generation juga sangat dibutuhkan.
Menurut Afdilla, sebagai pemangku kepentingan, negara diharapkan bisa memperluas lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat.
“Dengan begitu, warganya bisa memiliki penghasilan yang cukup,” tukasnya.
Tentu saja, dengan pemenuhan finansial yang sesuai, membuat masyarakat, khususnya MBR bisa mewujudkan mimpi punya rumah layak.
Menanggapi urusan itu, Corporate Secretary PT Intiland Development, Theresia Rustandi berpendapat bahwa pemerintah senyatanya sudah menawarkan solusi untuk memudahkan MBR memiliki rumah.
Misalnya DKI Jakarta, pemerintah setempat memberikan fasilitas rumah susun untuk menunjang penataan kawasan kumuh, terutama yang terkonsentrasi di sepanjang bantaran sungai, rel kereta api, dan listrik tegangan tinggi.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun punya program pengembangan perumahan yang fokus pada MBR, seperti Perumnas (Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional) dan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
“Masyarakat bisa dengan mudah mencari program yang cocok dengan kondisinya, kok,” tutup Theresia.
Asa Itu Masih Ada?
Memikirkan keinginan punya rumah saat terimpit tanggung jawab finansial banyak orang memang bisa membuat otak semrawut, apalagi jika keadaan dan support system tidak berpihak pada generasi sandwich yang selalu menanggung beban sendiri.
Seperti Nurhayati dan Afdilla, banyak waktu, tenaga, dan pikiran terkuras setiap hari agar angan-angan memiliki hunian bisa mereka peroleh.
Padahal, tidak cukup diri sendiri saja untuk mengatasi masalah pelik soal kepemilikan rumah.
Diperlukan pula andil pemangku kepentingan, seperti pemerintah agar mempermudah pemerolehannya.
Memang, pemerintah sudah mencanangkan program-program yang praktis untuk menyederhanakan pemerolehan rumah layak bagi masyarakat.
Namun, apakah penyelesaian itu sudah cukup untuk mengatasi angka backlog 12,75 juta unit di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, biarlah waktu yang memutuskan.
Semoga artikel ini bisa bermanfaat ya, Property People.
Jangan lupa untuk baca ulasan menarik lainnya di Google News Berita 99.co Indonesia.
Apakah kamu saat ini sedang mencari rumah di daerah Batam Kota.
Mungkin, Orchard Park Batam bisa jadi opsi yang paling tepat untuk kamu, lo.
Selain itu, kamu bisa cek informasi lebih lengkap lainnya hanya di www.99.co/id dan rumah123.com karena kami selalu #AdaBuatKamu.
***
Penulis Utama: Gadis Saktika
Editor: Mukhammad Iqbal
Penanggung Jawab: Elmi Rahmatika F. A.
Ketua Pelaksana: Alya Zulfikar
Tim Penulis:
Artikel ini merupakan rangkaian liputan khusus Tim Berita 99.co Indonesia yang termuat dalam 99 Property Magazine Edisi 05: Memiliki Rumah bagi Generasi Sandwich: Impian yang Terimpit Realita.