Berita Berita Properti

Suku Bunga Acuan BI Diturunkan, Apakah Bisa Dongkrak Sektor Bisnis Properti?

2 menit

Suku bunga acuan Bank Indonesia turun 25 basis poin (bps). Hal ini dipercaya dapat meningkatkan gairah sektor bisnis properti setelah sempat meredup karena pandemi Covid-19.

Kini suku bunga acuan Bank Indonesia berada di angka 3,75%.

Pemotongan suku bunga ini diharapkan dapat mendongkrak permintaan kredit pembiayaan rumah.

Penurunan Suku Bunga Acuan dan Bisnis Properti

suku bunga acuan BI turun

Penurunan suku bunga acuan ini bukan yang pertama kali terjadi tahun ini.

Pada Juli 2020, suku bunga dipotong 25 bps dari 4,25% menjadi 4%.

Kemudian, sekarang dipangkas lagi menjadi 3,75%.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan bahwa keputusan Bank Indonesia ini dapat berdampak positif pada peningkatan bisnis properti.

Diharapkan penjualan rumah pada kuartal IV 2020 ini dapat kembali meningkat.

“Penurunan suku bunga memang diperlukan, salah satunya sebagai respons kebijakan moneter atas situasi masih lemahnya permintaan properti. Jadi, ini salah satu upaya ke arah untuk peningkatan penjualan rumah (kuartal IV-2020),” ujar Eko, dikutip dari Merdeka.com, pada Minggu (21/11/2020).

Lebih lanjut Eko menjelaskan bahwa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ini ditujukan agar daya beli konsumen meningkat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 membuat permintaan konsumen akan hunian cukup menurun.

“Karena hingga bulan lalu (Oktober) konsumen relatif masih menahan belanja barang tahan lama, salah satunya beli perabot rumah tangga, furnitur, dan lainnya. Apalagi, pertumbuhan harga properti komersial juga masih melambat, tanda masih adanya kendala sisi konsumsi,” ujarnya.

Suku Bunga Bank Tidak Kunjung Turun

ilustrasi bunga bank



Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ternyata belum berpengaruh terhadap suku bunga perbankan, baik di sisi simpanan atau pinjaman.

Maka dari itu BI meminta bank segera menurunkan suku bunga kredit untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan setidaknya ada tiga faktor penyebab perbankan sulit menurunkan suku bunga kredit.

Pertama, menurut Tauhid, biaya operasional bank masih relatif tinggi, yakni sekira 85%.

Dengan begitu, bank akan merasa tidak efisien jika ikut menurunkan suku bunga bank.

Faktor kedua adalah bank tidak mau ambil risiko jika pendapatan menurun.

Diketahui, sebanyak 2/3 pendapatan bank berasal dari kredit, sehingga jika bank menurunkan suku bunga secara drastis namun biaya operasional masih tinggi, tentu akan mempengaruhi pendapatan bank.

Faktor ketiga adalah Net Interest Margin (NIM) masih tinggi yakni sekira 4,3%.

“Nah dengan situasi tersebut itu menandakan bank mendapatkan manfaat dari suatu manfaat perbedaan suku bunga tadi, katakanlah dari suku BI ke suku bunga modal kerja itu masih 4,3 persen, perbedaan suku bunga dan nilai-nilai keuntungan bank di situ,” ujarnya, dikutip dari Liputan6.com, Minggu (22/11/2020).

Dengan ketiga faktor tersebut, bank merasa masih berat jika harus menurunkan suku bunga.

“Kalau bisa NIM diturunkan lagi supaya suku bunga investasi dan modal kerjanya bisa ditekan, kalau NIM ditekan ya perbankan harus melakukan efisiensi yang perlu dilakukan itulah alasan bank sulit menurunkan suku bunganya,” ujarnya.

***

Semoga informasi ini bermanfaat untuk Sahabat 99, ya!

Jangan lewatkan informasi menarik lainnya di situs Berita Properti 99.co Indonesia.

Kamu sedang mencari rumah di Bali?

Bisa jadi Damara Village di Kuta Selatan adalah jawabannya!

Cek saja di 99.co/id untuk menemukan rumah idamanmu!



Theofilus Richard

Penulis konten | Semoga tulisanku berkesan buat kamu

Related Posts